FIKIH SOSIAL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Iad, Ibd, Isd
Dosen Pengampu: Eva Ida Amaliah, MA
![]() |
Disusun oleh :
1.Yasinta Jauharotul Farida 111513
2.Hery Susanto 111518
3.Muhammad Mahfudh Fauzi 111522
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PBA

BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya semua hukum yang
terdapat dalam fikih islam kembali pada tiga sumber, yaitu Alqur’an, Hadits,
dan Ra’yu (ijma’ Qiyas). Alqur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum islam, sumber
yang pertama dan utama untuk penentuan hukum fikih islam. Apabila dalam
Alqur’an tidak terdapat hukum dari suatu permasalahan maka kita merujuk pada
sumber hukum islam yang kedua setelah Alqur’an yaitu Hadits (As-Sunnah), dan
wajib mengamalkan bila kita mendapat hukum tersebut dengan sarat benar-benar bersumber
dari nabi dan sanad yang shahih.
Selain Alqur’an dan Hadits, ada
sumber hukum lain yang dapat dijadikan rujukan yaitu Ijma’ dan Qiyas. Mengenai kedua
sumber itu (Ijma’ dan Qiyas) hal ini sangat erat kaitannya dengan lingkup
ijthad yang notabene memiliki unsur kesinambungan dengan lingkup santri.
Maka dalam uraian berikut akan
dijelaskan tentang isi buku yang berjudul “Nuansa Fikih Sosial” karya KH. Sahal Mahfudz dengan tema gejolak
ijtihad dikalangan santri.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana kedudukan ijtihad sepeninggal
Rasulullah ?
2. Apa jenjang dalam terminologi ijtihad ?
3. Mengapa ijtihad berhubungan erat dengan
lingkungan pesantren ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah
mengerjakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Adapun secara istilah
para ahli Ushul Fikih adalah:
بذل الجهد للوصول الي الحكم الشرعي من دليل تفصيل من الادلة
الشرعية
Mencurahkan kemampuan berfikir untuk menginsbatkan
(mengeluarkan) hukum syara’ melalui dalil-dalil syar’i[1].
B.
Ijtihad
Sebagai Kebutuhan
Bagi umat islam, ijtihad adalah suatu
kebutuhan dasar, tidak hanya ketika nabi sudah tiada, bahkan ketika nabi masih
hidup, hadits riwayat Mu’adz bin Jabal adalah buktinya. Nabi tidak hanya
mengijinkan, akan tetapi beliau menyambut dengan gembira bercampur haru begitu
mendengar tekat Mu’adz untuk berijtihad dalam hal-hal yang tidak diperoleh
ketentuan secara jelas dalam Al-Qur’an ataupun Hadits.
Apabila dimasa nabi ijtihad sudah
bisa dilakukan, maka sepeninggal nabi tentu jauh sangat diperlukan. Dikalangan
umat islam manapun tidak ada perintah yang menyatakan ijtihad hukumnya haram,
dan harus dihindari. Dalam kitab Ar-Radd’alaa Man Afsad fi Al-Ardh, sebuah
kitab “sangat kuning” as-Sayuthi dengan jelas berkesimpulan, pada setiap
periode harus ada seorang atau beberapa orang yang mampu berperan sebagai
mujtahid. Ini berarti bukan sekedar mempunyai keberanian untuk menjadi seorang
mujtahid, akan tetapi dibutuhkan keberanian secara objektif dengan didukung
kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Apabila seorang ulama enggan
beranggapan bahwa dirinya telah melakukan ijtihad tidak bisa secara langsung
dianggap anti ijtihad, barangkali telah melakukan ijtihad akan tetapi tidak
disertai pernyataan telah melakukan ijtihad.
C.
Tingkatan
Ijtihad
Dikalangan ahli fikih ijtihad
merupakan terminologi berjenjang, ada yang digolongkan itihad muthlaq, dan juga
ijtihad muqoyyad, atau muntasib. Ijtihad muthlaq adalah ijtihad seorang ulama dalam
bidang fikih, bukan hanya menggali hukum-hukum baru, melainkan memakai metode
baru hasil pemikiran individu. Ini tingkat ijtihad para pendiri madzhab pada
masa pertumbuhan fikih sekitar abad 2-3 hijriyah. Sedangkan ijtihad muqoyyad
atau muntasib adalah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum dengan
metode hasil pemikiran orang lain[2].
D. Ijtihad Dikalangan Madzhab Syafi’i
Madzhab syafi’i merupakan aliran yang
jarang mempopulerkan dalil maslahah mengenai hal yang tidak diperoleh penegasannya
didalam nash, akan tetapi metode qiyas yang selalu ditekankan. Oleh sebab itu madzhab
syafi’i lebih suka berbicara tentang ‘illat (alasan hukum) dan
berpendapat bahwa maslahah sudah tersimpul didalam ‘ilatl.[3]
Meskipun tidak secara tegas, seorang
mujtahid diharuskan memiliki kepekaan sosial yang secara implisit telah terekam
baik didalam mekanisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi’i
dikenal memiliki qoul qodim yang awal perkembangannya di Baghdad dan qoul jadid
yang berkembang setelah berpindah ke Mesir[4].
E. Bahtsul Masail di kalangan NU
Kajian masalah hukum (bahtshul
masail) di kalangan NU menurut KH.Sahal Mahfudz masih belum memuaskan untuk
keperluan ilmiah maupun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan zaman. Salah
satu sebab pokoknya adalah keterikatan pada satu madzhab (syafi’i). Padahal
AD/ART NU sendiri menegaskan bahwa NU menaruh penghargaan yang sama terhadap
empat madzhab. Dengan demikian komisi bahtsul masail NU masih perlu meningkatkan
upaya yang serius, akan tetapi apapun yang telah dihasilkan, komisi bahtsul masail
NU tidak pernah bermaksud mengikat warganya dengan keputusan yang telah
dahasilkan, bila ada diantara warga yang menaati maka itu hanya menjadi ikatan
moral saja[5].
F.
Ijtihad
di Kalangan Santri
Sebagian para santri mengatakan,
pesantren sebagai lembaga untuk memperdalam pengetahuan agama selama ini lebih
mengutamakan mempelajari teks-teks ulama salaf dalam masalah kemasyarakatan
yang luas, dengan berpegang pada konteks sosial saat teks dibukukan. Kinerja intelektual
pesantren dan kajian keagamaan hanya berkisar pada interprestasi tekstual,
sementara perkembangan yang berlangsung begitu cepat. Pesantren hanya menyikapi
dengan menarik kesimpulan demi kesimpulan secara umum dari hukum-hukum yang
sudah matang untuk kemudian digunakan menjawab tantangan sosial yang kompleks[6].
Ketika permasalahan ditengah
masyarakat semakin menggejala, membutuhkan pemecahan yang semakin rumit. Beberapa
ulama telah merumuskan pada zaman sekarang tidak mungkin lagi melakukan ijtihad
secara individual seperti yang dilakukan imam madzhab empat, akan tetapi
ijtihad tetap bisa dilakukan sebatas ijtihad kolektif, yaitu suatu ijtihad yang
melibatkan beberapa ulama berdisiplin ilmu yang berbeda, untuk kemudian melakukan
ijtihad dalam satu atau beberapa perkara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan ijtihad tersebut,
maka ada tiga faktor yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad yaitu:
- Upaya mencurahkan segala kemampuan untuk berfikir.
- Ijtihad bertujuan untuk menghasilkan hukum syara’.
- Ijtihad hanya berlaku bagi peristiwa yang tidak ada keterangan hukumnya secara qoth’i atau tidak ada hukumnya sama sekali.
B. Saran
Dalam bidang fikih, ijtihad merupakan
suatu kebutuhan. Sebagai manusia yang dibekali rohani yang kuat, kecerdasan
emosional yang matang, kecerdasan sosial yang mantap, dan kecerdasan spiritual
yang tangguh, maka wajib bagi kita mendalami hal tersebut guna menghadapi
problematika kehidupan beragama.
DAFTAR PUSTAKA
- Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fikih Sosial. Lkis: Yogyakarta.
- Subhan. 2010. Fikih Islam. BPPMNU Banat: Kudus.
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar