Jumat, 07 Juni 2013


FIKIH SOSIAL

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Iad, Ibd, Isd
Dosen Pengampu: Eva Ida Amaliah, MA




 










Disusun oleh :

1.Yasinta Jauharotul Farida             111513
2.Hery Susanto                                111518
3.Muhammad Mahfudh Fauzi         111522


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PBA
TAHUN 2011







BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Pada dasarnya semua hukum yang terdapat dalam fikih islam kembali pada tiga sumber, yaitu Alqur’an, Hadits, dan Ra’yu (ijma’ Qiyas). Alqur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum islam, sumber yang pertama dan utama untuk penentuan hukum fikih islam. Apabila dalam Alqur’an tidak terdapat hukum dari suatu permasalahan maka kita merujuk pada sumber hukum islam yang kedua setelah Alqur’an yaitu Hadits (As-Sunnah), dan wajib mengamalkan bila kita mendapat hukum tersebut dengan sarat benar-benar bersumber dari nabi dan sanad yang shahih.
Selain Alqur’an dan Hadits, ada sumber hukum lain yang dapat dijadikan rujukan yaitu Ijma’ dan Qiyas. Mengenai kedua sumber itu (Ijma’ dan Qiyas) hal ini sangat erat kaitannya dengan lingkup ijthad yang notabene memiliki unsur kesinambungan dengan lingkup santri.
Maka dalam uraian berikut akan dijelaskan tentang isi buku yang berjudul “Nuansa Fikih Sosial karya KH. Sahal Mahfudz dengan tema gejolak ijtihad dikalangan santri.

B.     Rumusan Masalah
1.   Bagaimana kedudukan ijtihad sepeninggal Rasulullah ?
2.   Apa jenjang dalam terminologi ijtihad ?
3.   Mengapa ijtihad berhubungan erat dengan lingkungan pesantren ?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah mengerjakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Adapun secara istilah para ahli Ushul Fikih adalah:
بذل الجهد للوصول الي الحكم الشرعي من دليل تفصيل من الادلة الشرعية
Mencurahkan kemampuan berfikir untuk menginsbatkan (mengeluarkan) hukum syara’ melalui dalil-dalil syar’i[1].

B.     Ijtihad Sebagai Kebutuhan
Bagi umat islam, ijtihad adalah suatu kebutuhan dasar, tidak hanya ketika nabi sudah tiada, bahkan ketika nabi masih hidup, hadits riwayat Mu’adz bin Jabal adalah buktinya. Nabi tidak hanya mengijinkan, akan tetapi beliau menyambut dengan gembira bercampur haru begitu mendengar tekat Mu’adz untuk berijtihad dalam hal-hal yang tidak diperoleh ketentuan secara jelas dalam Al-Qur’an ataupun Hadits.
Apabila dimasa nabi ijtihad sudah bisa dilakukan, maka sepeninggal nabi tentu jauh sangat diperlukan. Dikalangan umat islam manapun tidak ada perintah yang menyatakan ijtihad hukumnya haram, dan harus dihindari. Dalam kitab Ar-Radd’alaa Man Afsad fi Al-Ardh, sebuah kitab “sangat kuning” as-Sayuthi dengan jelas berkesimpulan, pada setiap periode harus ada seorang atau beberapa orang yang mampu berperan sebagai mujtahid. Ini berarti bukan sekedar mempunyai keberanian untuk menjadi seorang mujtahid, akan tetapi dibutuhkan keberanian secara objektif dengan didukung kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Apabila seorang ulama enggan beranggapan bahwa dirinya telah melakukan ijtihad tidak bisa secara langsung dianggap anti ijtihad, barangkali telah melakukan ijtihad akan tetapi tidak disertai pernyataan telah melakukan ijtihad.

C.    Tingkatan Ijtihad
Dikalangan ahli fikih ijtihad merupakan terminologi berjenjang, ada yang digolongkan itihad muthlaq, dan juga ijtihad muqoyyad, atau muntasib. Ijtihad muthlaq adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fikih, bukan hanya menggali hukum-hukum baru, melainkan memakai metode baru hasil pemikiran individu. Ini tingkat ijtihad para pendiri madzhab pada masa pertumbuhan fikih sekitar abad 2-3 hijriyah. Sedangkan ijtihad muqoyyad atau muntasib adalah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum dengan metode hasil pemikiran orang lain[2].

D. Ijtihad Dikalangan Madzhab Syafi’i
Madzhab syafi’i merupakan aliran yang jarang mempopulerkan dalil maslahah mengenai hal yang tidak diperoleh penegasannya didalam nash, akan tetapi metode qiyas yang selalu ditekankan. Oleh sebab itu madzhab syafi’i lebih suka berbicara tentang ‘illat (alasan hukum) dan berpendapat bahwa maslahah sudah tersimpul didalam ‘ilatl.[3]
Meskipun tidak secara tegas, seorang mujtahid diharuskan memiliki kepekaan sosial yang secara implisit telah terekam baik didalam mekanisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi’i dikenal memiliki qoul qodim yang awal perkembangannya di Baghdad dan qoul jadid yang berkembang setelah berpindah ke Mesir[4].

E. Bahtsul Masail di kalangan NU
Kajian masalah hukum (bahtshul masail) di kalangan NU menurut KH.Sahal Mahfudz masih belum memuaskan untuk keperluan ilmiah maupun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan zaman. Salah satu sebab pokoknya adalah keterikatan pada satu madzhab (syafi’i). Padahal AD/ART NU sendiri menegaskan bahwa NU menaruh penghargaan yang sama terhadap empat madzhab. Dengan demikian komisi bahtsul masail NU masih perlu meningkatkan upaya yang serius, akan tetapi apapun yang telah dihasilkan, komisi bahtsul masail NU tidak pernah bermaksud mengikat warganya dengan keputusan yang telah dahasilkan, bila ada diantara warga yang menaati maka itu hanya menjadi ikatan moral saja[5].

F.     Ijtihad di Kalangan Santri
Sebagian para santri mengatakan, pesantren sebagai lembaga untuk memperdalam pengetahuan agama selama ini lebih mengutamakan mempelajari teks-teks ulama salaf dalam masalah kemasyarakatan yang luas, dengan berpegang pada konteks sosial  saat teks dibukukan. Kinerja intelektual pesantren dan kajian keagamaan hanya berkisar pada interprestasi tekstual, sementara perkembangan yang berlangsung begitu cepat. Pesantren hanya menyikapi dengan menarik kesimpulan demi kesimpulan secara umum dari hukum-hukum yang sudah matang untuk kemudian digunakan menjawab tantangan sosial yang kompleks[6].
Ketika permasalahan ditengah masyarakat semakin menggejala, membutuhkan pemecahan yang semakin rumit. Beberapa ulama telah merumuskan pada zaman sekarang tidak mungkin lagi melakukan ijtihad secara individual seperti yang dilakukan imam madzhab empat, akan tetapi ijtihad tetap bisa dilakukan sebatas ijtihad kolektif, yaitu suatu ijtihad yang melibatkan beberapa ulama berdisiplin ilmu yang berbeda, untuk kemudian melakukan ijtihad dalam satu atau beberapa perkara.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan ijtihad tersebut, maka ada tiga faktor yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad yaitu:
  1. Upaya mencurahkan  segala kemampuan untuk berfikir.
  2. Ijtihad bertujuan untuk menghasilkan hukum syara’.
  3. Ijtihad hanya berlaku bagi peristiwa yang tidak ada keterangan hukumnya secara qoth’i atau tidak ada hukumnya sama sekali.

B. Saran
Dalam bidang fikih, ijtihad merupakan suatu kebutuhan. Sebagai manusia yang dibekali rohani yang kuat, kecerdasan emosional yang matang, kecerdasan sosial yang mantap, dan kecerdasan spiritual yang tangguh, maka wajib bagi kita mendalami hal tersebut guna menghadapi problematika kehidupan beragama.



DAFTAR PUSTAKA

  • Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fikih Sosial. Lkis: Yogyakarta.
  • Subhan. 2010. Fikih Islam. BPPMNU Banat: Kudus.
















     


 


[1] Subhan, 2010. Fikih Islam. BPPMNU Banat: Kudus.
[2] Sahal Mahfudz. 1994. Nuansa Fikih Sosial. Yogyakarta: Lkis.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Sahal Mahfudz. 1994. Nuansa Fikih Sosial. Lkis: Yogyakarta.
[6] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar